Sebelumnya, kita pernah menyaksikan horor yang mengetengahkan relasi ibu-anak dalam The Babadook (2014) hingga The Prodigy (2019) yang masing-masing berjalan dalam arah "hipster" di mana kecemasan, ketakutan, studi karakter hingga atmosfer ditekankan. Lantas mengikuti kesuksesan tersebut, debut penyutradaraan Lee Cronin meminjam elemen tersebut sembari tetap ingin merangkul para penonton pemuja hiburan sarat jump scare. Hasilnya adalah sebuah inkonsistensi yang tak berimbang.
Sarah (Seána Kerslake) dan sang putera, Chris (James Quinn Markey) baru saja pindah dari kota ke sebuah pedesaan yang berada di pinggir hutan di Irlandia. Kepindahan Sarah disiratkan naskahnya akibat perilaku abusive sang suami. Sarah memang masih terguncang, sementara Chris adalah sosok bocah pendiam yang jauh dari keramaian sosial dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan action figure-miliknya. Tentu, niat yang semula di harapkan Sarah takkan berjalan baik-baik saja, terlebih pasca ia bertemu seorang wanita misterius bernama Noreen (Kati Outinen) yang mengaku telah melindas sang putera setelah meyakini bahwa seorang makhluk menyerupai wajah sang putera.
Sarah yang semula meyakini bahwa Noreen adalah wanita gila-yang seperti masyarakat bilang-kemudian mengalami hal serupa yang ia utarakan. Di suatu malam, Sarah yang tengah mencari Chris menemukan sebuah lubang raksasa di tengah hutan yang menganga di permukaan tanah. Semula ia beranggapan bahwa lubang tersebut akibat peristiwa alam berupa jatuhnya meteror. Namun, tanpa ia sadari, lubang tersebut adalah sumber masalah yang tengah menerpanya.
Naskah garapan Lee Cronin bersama Stephen Shields menyimpan setumpuk potensi yang kemudian memunculkan sebuah scary imageries yang dapat memunculkan mimpi buruk tersendiri. Namun, dua penulis tersebut seolah lupa akan adanya sebuah elaborasi yang ketimbang tampil sarat ambiguitas di jelaskan begitu saja secara terang-terangan. Ini tentu mengurangi rasa terkait misteri yang coba dipecahkan. Terlebih, kala eksekusinya berjalan pelan sebelum menyusuri sebuah pengadeganan.
Bukan sebuah dosa pula haram hukumnya jika hal tersebut diterapkan-asalkan sesuai aturan. Seperti yang telah saya singgung, Cronin berupaya menyeimbangkan dua elemen yang sukar untuk disatukan. Hasilnya adalah sebuah kecanggungan pula perasaan yang sukar diutarakan. Bukan berarti jelek, pasalnya The Hole in the Ground urung menapaki dua elemen tersebut secara merata. Meski sukar untuk tak menolak menikmati gelaran jump scare yang dibangun tepat sasaran.
Pun, naskahnya menyimpan sebuah ketertarikan seiring berubahnya perilaku Chris yang tak seperti biasanya. Ia mungkin menjadi sosok penurut pula tak banyak bicara seperti yang Sarah inginkan. Namun ada sebuah perasaan tak karuan yang menggelayuti hati Sarah mendapati sikap Chris yang tak seperti dirinya. Dari sini, The Hole in the Ground turut menyinggung sisi kelam dari parenting, yakni berupa trauma personal yang turut berdampak pada tumbuh kembang sang anak.
Cronin memang menjadikan filmnya untuk tampil kelam. Pun, pemilihan lokasi pula penerapan color-grading sejalan dengan apa yang diharapkan. Namun tidak dengan scoring buatan Stephen McKeon (The Tiger's Tail, Blind Fight) yang alih-alih tampil menyeramkan justru merusak gendang telinga ketika volume suara kerap dinaikkan. Padahal, teror tampil mencekam kala Cronin memilih opsi untuk menekankan kesunyian, sebutlah adegan kala Chris menyanyikan sebuah lagu yang kemudian diiringi tepukan tangan.
Konklusinya tak menghadirkan sebuah penebusan yang setimpal kala semuanya ditutup begitu menggampangkan pula sarat keklisean. Semuanya terselesaikan lewat sebuah satu tindakan. Padahal, Kreslake menyimpan talenta menjanjikan jika diberikan sebuah tantangan. Sayang, semuanya urung dimanfaatkan kala eksekusi lebih memilih mengeliminasi dan nihil adanya sebuah kesolidan narasi maupun tensi.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar