Saya berasumsi bahwa orang-orang di belakang Panggilan dari Kubur mempunyai niatan yang baik. Mereka hendak mengetengahkan perasaan duka yang dialami keluarga pasca ditinggalkan oleh sang anak tercinta. Saya pun yakin, demikian salah satu alasan Nirina Zubir, yang merupakan aktris pemenang Piala Citra mengambil proyek ini. Horor yang nyatanya lebih horor dari genre itu sendiri, karena kehilangan anak satu-satunya adalah pemandangan yang tak ingin dirasakan oleh semua orang dalam kehidupan.
Semuanya bermula ketika Alya (Nirina Zubir) bersama sang suami, Raka (Nugie) turut memboyong anak semata wayangnya, Jasmine (Firzanah Alya) berlibur ke rumah sang nenek, Dewi (Muthia Datau). Liburan yang semula berjalan sebagaimana mestinya tiba-tiba berubah menjadi bencana pasca Alya mengabulkan permintaan Jasmine untuk menyambangi danau tempat bermain sang ibu. Jasmine tewas setelah tenggelam, sementara Alya tengah mengangkat telepon dari pekerjaannya.
Pemandangan tersebut di tampilkan secara off-screen. Sebagai penonton, saya mungkin ingin melihat bagaimana Jasmine tiba-tiba tenggelam di saat Alya dilanda kebingungan mencari keberadaan sang anak. Semuanya tampil secara tiba-tiba, seolah filmnya enggan memberikan waktu luang agar penonton mencerna apa yang tengah dilihatnya.
Mungkin para pembuatnya enggan menampilkan sebuah dramatisasi berlebih dan menaruh fokus sepenuhnya kepada Alya yang dirundung rasa bersalah sekaligus kehilangan secara bersamaan. Kritisi terhadap kelalaian orang tua dalam menangani anak sempat diterapkan oleh fillmnya, baik secara fisik maupun batin. Namun, sekali lagi, Panggilan dari Kubur enggan menampilkan sebuah dampak yang signifikan dalam upaya menciptakan sebuah kedalaman, filmnya hanya setia berada di permukaan.
Konfliknya terjadi kala keputusan Alya dan Raka yang memilih untuk menguburkan jasad sang anak di belakang rumah berubah menjadi sebuah malapetaka ketika tanah tersebut merupakan tanah kutukan leluhur keluarga, yang mengutuk anak keturunannya tidak bisa mati dan hidup abadi. Ironis memang, di saat Alya yang belum bisa menerima kematian sang anak harus dihadapkan pada keinginannya yang kali ini datang dari situasi tak terduga.
Premis tersebut jelas banyak mengingatkan saya pada cerita Pet Sematary (yang sudah didapatasi kembali pada tahun 2019) milik Stephen King. Panggilan dari Kubur sayangnya tak memanfaatkan pondasi yang sudah dibangunnya, filmnya hanya sekadar memanfaatkan lalu tak bertanggung jawab dengan eksekusi yang seharusnya diterapakan.
Padahal, Dyan Sunu Prastowo (Mantra Surugana, Utusan Iblis, Ketindihan) mampu menampilkan sebuah teror minimalis yang tampil cukup mencekam dengan menampilkan sebuah penampakan pocong di pinggir jalan tanpa terkesan murahan. Sayangnya, apa yang telah dilakukan selalu terkendala substansi serta scoring yang tak seimbang, sekedar mengeraskan volume tanpa memikirkan kebutuhan cerita. Sungguh sebuah penyakit sederhana yang senantiasa menjangkiti khasanah perfilman horor tanah air.
Menjelang third-act, Panggilan dari Kubur banting setir ke setelan awal. Sekali lagi, filmnya terjangkit penyakit serupa kebanyakan film horor arus utama, di mana kesan fomulaik dan klise akan selalu menghampiri dan melekat kuat menjelang konklusi filmnya. Dengan bantuan Basri (Septian Dwi Cahyo) semua masalah terselesaikan lewat lantunan ayat suci dan ayat kursi.
Bukan sebuah dosa besar jika sebuah film nihil melakukan sebuah gebrakan maupun pembaharuan. Terkadang, hal klise pun dapat tampil menarik selama sang sineas mampu meracik filmnya menjadi sebuah suguhan yang menarik. Namun, naskah hasil racikan Baskoro Adi Wuryanto (Pembantaian Dukun Santet, Anak Kunti, Perewangan) tidak pernah mencoba menampilkan hal tersebut, hingga menciptakan beberapa pertanyaan sekaligus cacat logika yang mengendap di kepala.
Semisal kehadiran Basri yang tiba-tiba menjadi sentral cerita setelah sebelumnya ditampilkan biasa-biasa saja; motivasi buyut Alya (diperankan oleh Ruth Marini) yang merupakan korban fitnah masyarakat mengutuk tanah dan keturunannya untuk tetap abadi tidak pernah diceritakan atau dijelaskan secara memadai; hingga motivasi hantu Jasmine yang menghantui warga sekitar yang notabenenya tak bersalah tidak pernah jelas maksud dan tujuannya. Tunggu hingga Panggilan dari Kubur menampilkan sebuah konklusi sarat antiklimaks yang membuat saya penasaran dengan niatan sang sineas yang entah maunya apa?.
SCORE : 2/5
0 Komentar