Ketimbang pencapaian kualitasnya, Pembantaian Dukun Santet mungkin akan diingat karena kontroversi pemakaian judul sebelumnya, Lemah Santet Banyuwangi yang membuat geram para penduduk karena dapat mencoreng nama baik Banyuwangi. Mengetengahkan peristiwa kelam yang pernah terjadi pada tahun 1998, adaptasi utas viral milik JeroPoint ini sejatinya memiliki potensi dalam menampilkan reka ulang kengerian pembantaian yang dilakukan oleh sekelompok ninja terhadap mereka yang berstatus sebagai pemuka agama.
Sekuen pembukanya langsung tancap gas menampilkan hal tersebut, seolah menyiratkan esensi yang mewakili judulnya. Setelahnya, cerita berfokus kepada Annisa (Aurora Ribero), salah satu santriwati yang konon memiliki indra keenam. Kejadian traumatik di masa lalu acap kali sering menghantuinya selama di pesantren, terlebih setelah serangkaian teror santet yang menewaskan satu-persatu penghuninya secara mengenaskan.
Benar. Deretan kematian yang ditampilkan dalam Pembantaian Dukun Santet memang layak mendapatkan apresiasi lebih, Azhar Kinoi Lubis selaku sutradara memastikan penontonnya untuk merasakan ngilu dan sakitnya barang-barang tak lazim semisal kawat yang keluar dari mata secara nyata. Namun, keseluruhan film horor tak hanya dinilai lewat sadis atau tidaknya, melainkan bagaimana kualitas filmnya?
Sayangnya, hal tersebut urung dimiliki oleh Pembantaian Dukun Santet yang nihil urgensi dalam setiap pengadeganan miliknya. Praktis filmnya hanya menampilkan deretan kematian secara mengenaskan yang kehadirannya acap kali disertai oleh penampakan kuntilanak maupun pocong kepala buntung yang sangat eksis di layar. Alhasil, kontuniti yang terjadi dalam filmnya pun hanya sebatas repetisi tak tahu diri.
Selain sarat repetisi, nihilnya motivasi yang dimiliki karakternya pun menciptakan sebuah lubang menganga dan menghantarkan penonton pada setumpuk pertanyaan yang urung disertai pernyataan maupun jawaban tegas oleh filmnya. Contoh sederhana misalnya hadirnya karakter Satrio (Kevin Ardilova), santri yang memiliki jiwa sedikit memberontak berusaha keras untuk menyelamatkan orang tuanya dari teror ninja, yang justru hanya dalih bagi filmnya untuk menempatkan karakternya dalam marabahaya. Singkatnya, tarik ulur semacam ini tak memiliki urgensi lebih selain sebagai sarana penambal durasi.
Padahal, Pembantaian Dukun Santet sempat membuka jalan untuk menebak siapa pelaku santet sebenarnya, menggiring penonton pada elemen whodunit yang akan menarik atensi andai naskah buatan Aura Gemintang dan Baskoro Adi Wuryanto jeli memainkan tensi. Sayangnya, filmnya mengambil jalan pintas dengan tetap menerapkan trope umum yang begitu dangkal, di mana orang yang terlihat baik adalah pelaku sebenarnya.
Alhasil, setting pesantren yang berada di kaki bukit pun urung menciptakan sebuah kengerian yang benar-benar nyata, meskipun filmnya menampilkan teror berdarah dengan sadisme yang tak tampil malu-malu. Demikian pula dengan potensi para pemain yang urung tergali, melihat Aurora Ribero maupun Kevin Ardilova yang memiliki kapasitas akting mumpuni seolah tersia-siakan di sini. Begitu pula dengan Teuku Rifnu Wikana yang entah sudah berapa kali terjebak pada karakter serupa.
Dalam salah satu adegan ketika filmnya mengungkap dalang di balik semuanya, Annisa melontarkan pertanyaan "Apa salah kami sebenarnya?" sementara sang pelaku tanpa tedeng aling-aling menimpal pertanyaan tersebut dengan jawaban sederhana "Kalian hanya berada di tempat dan waktu yang salah". Sungguh sebuah jawaban yang membingungkan dan terlampau sederhana bagi film yang katanya mengangkat salah satu sejarah kelam yang pernah terjadi di negeri ini. Seolah mengamini hal tersebut, saya pun merasa yakin bahwa untuk menyaksikan film ini adalah sebuah keputusan yang benar-benar salah.
SCORE : 2/5
0 Komentar