"Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang
sebebas-bebasnya" demikianlah ucap Kartini (Dian Sastrowardoyo) dalam
lubuk hatinya yang paling dalam, Kartini sang pahlawan emansipasi
mengalami masa dimana kebebasan akan hak serta kesetaraan gender kian
terpasung, seolah kodrat wanita hanya melayani suami serta dipingit dan
dikurung dalam sebuah kamar guna menunggu
lamaran pria yang datang. Bahkan wanita (rakyat miskin di luar
bangsawan) dianggap remeh, tak layak memegang jabatan macam Bupati
maupun hal sepele seperti memilih jalan hidup sendiri. Kartini selaku
garapan sutradara Hanung Bramantyo dengan sokongan naskah dari Bagus
Bramanti jelas perlu menyadur kisah hidup Kartini sang pahlawan
emansipasi, selain karena kisahnya yang familiar juga berjasa bagi
Bangsa, kisahnya pun sangat relevan di masa kini, dimana feminisme serta
kesetaraan gender kerap di junjung dan di teriakkan.
Sedari
awal film bergulir, Hanung menekankan pada penonton guna membaca buku
mengenai kisah Kartini, karena dalam filmnya sendiri tak semuanya mampu
terjawantahkan secara eksplisit selain karena tuntutan durasi yang
mungkin akan berbuntut panjang. Jelas kurangnya elaborasi justru
berdampak pada dilmnya sendiri, terlebih bagi masyarakat awan yang tak
terlalu mengenal kisah hidup Kartini pada awal 1990-an, seperti
kurangnya elaborasi terkait orang tua kandung Kartini, RM Sosroningrat
(Deddy Sutomo) dan Ngasirah (Christine Hakim, Ngasirah muda diperankan
Nova Eliza) yang substansif menunjukkan kuatnya patriarki mengakar pada
sistem feodal. Jelas itu penting sekali untuk disampaikan. Seperti yang
telah disinggung dari awal tadi minimnya durasi mengurangi elaborasi itu
tersampaikan.
Kartini jelas mengikuti pakem biografi
kebanyakan, yang mana menyoroti sang titular charachter demi terciptanya
sebuah kesan realis terhadap karakternya, saya tak masalah dengan
pilihan Hanung membuatnya kian mengikuti sistem generik, meskipun sangat
disayangkan kesan mengenai feminisme tak tergali lebih dalam, hanya
sebatas penerapan dalam gambaran kisah saja. Saya paham betul, itu semua
demi membuat filmnya terasa termuat, meski urung tampil lebih dalam.
Tak lupa juga, Hanung turut menyelipkan kondisi sosial politik,
khususnya di Pulau Jawa, dan ini pun berada di permukaan saja, walaupun
demikian, tuturan mengenai pesan tersebut mampu tersampaikan pula di
mengerti masyarakat awam.
Penggarapan Hanung memang kerap
tampil episodik (yang mana adalah sebuah penyakit film bertema biografi)
namun bukanlah seorang Hanung jika ia tak piawai menempatkan timing,
sehingga terciptanya sebuah pergerakan yang mulus meski sangat
disayangkan beberapa karakter urung mendapat porsi banyak dan sekedar
datang dan pergi begitu saja, seperti kehadiran Reza Rahadian yang
sebatas tampil sebagai cameo memerankan Kartono, begitupun dengan Adinia
Wirasti yang tampil di awal dan di akhir guna memberikan contoh serta
dampak kekangan terhadap wanita.
Dian Sastrowardoyo jelas
begitu piawai bermain dalam ranah olah rasa, ia mampu memerankan Kartini
dengan begitu luwes, berada di dalam kekangan sembari mencari jalan
untuk keluar dari sistem permasalahan terkait hak perempuan, ia tak
memikirkan diri sendiri, sifatnya komunal, ia ingin membebaskan wanita
dari belenggu budaya serta sistem kasta. Begitupun kala ia bersenda
gurau bersama sang adik, Roekmini (Acha Septriasa) serta Kardinah
(Ayushita Nugraha) tercipta sebuah senyum simpul, meski hati
terkungkung. Pujian patut diberikan lebih kepada Christine Hakim yang
paling luwes berbahasa Jawa, sekaligus bermain rasa. Adegan kala Kartini
dan Ngasirah berbicara mengenai hak wanita begitu menusuk, memancarkan
kasih sayang seorang Ibu sekaligus kegelisahan terhadap sang anak.
Djenar Maesa Ayu pun tak kalah memukau, ia mampu membuat Moeryam begitu
kejam, meski penceritaannya hanya sebatas keklisean ibu tiri yang kurang
dari kata kejam.
Kartini jelas tampil sebagai biopic
hiburan, yang jelas begitu mudah untuk di pahami, memang itu adalah
tujuannya. Meski dalam penggunaan bahasa Jawa hanya sepotong, juga
kurangnya narasi tampil lebih dalam menghalangi tercapainya semua aspek.
Kartini jelas patut untuk disimak selain karena bertaburnya para
bintang kenamaan, ia menyimpan relevansi terhadap kesetaraan hak wanita
dalam balutan gambaran sebuah perjuangan wanita. Wanita berhak berada
sejajar dengan pria bukan hanya sebatas pelayan pria kala dibutuhkan,
rela untuk berbagi cinta dengan wanita lain. Wanita tetaplah wanita,
yang punya kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, bukankah itu
semua makna dari yang namanya feminisme serta women empowerment?.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar